Jumat, 19 Oktober 2012

SAID BIN AMIR (Pemilik Kebesaran Dibalik Kesederhanaan)

Siapakah di antara kita yang mengenal nama Said bin Amir atau pernah mendengarnya sebelum ini? Kemungkinan besar banyak di antara kita yang mendengarnya walaupun tidak semuanya. Saya yakin bahwa kalian semua pasti menunggu dan bertanya-tanya, siapakah kiranya Said bin Amir ini? Beliau adalah salah seorang sahabat Rosulullah Sholallohu 'Alaihi Wassalam yang utama, walaupun namanya tidak seharum nama mereka yang terkenal. Ia adalah salah seorang yang bertakwa dan tidak menonjolkan diri. Mungkin ada baiknya kita kemukakan di sini bahwa ia tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rosulullah Sholallohu 'Alaihi Wassalam. Tetapi itu telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak turut mengambil bagian dalam apa saja yang dilakukan Nabi Sholallohu 'Alaihi Wassalam baik saat damai maupun dalam suasana perang. Said memeluk agama Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Sejak ia memeluk Islam dan berbaiat kepada Rosulullah Sholallohu 'Alaihi Wassalam, seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita-citanya dibaktikan untuk kepentingan Islam dan Rosulullah Sholallohu 'Alaihi Wassalam. Ketaatan, kezuhudan, kesalehan, keluhuran, ketinggian, serta segala sifat dan tabiat utama, sangat lekat pada diri manusia suci dan baik ini. Dan ketika kita berusaha menemui dan menjejaki kebesarannya hendaklah kita bersikap hati-hati dan waspada, agar kita tidak terlena oleh godaan pikiran yang selalu tertuju pada kemegahan, sehingga banyak hal penting yang justru terabaikan dan lepas dari pantauan, karena ketika pandangan kita tertuju pada Said dalam kumpulan orang banyak tidak tampak suatu keistimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita akan melihat dia sebagai salah seorang anggota tentara dengan tubuh berdebu dan berambut kusut, baik pakaian maupun bentuk lahirnya tidak sedikitpun berbeda dengan golongan miskin lainnya dari kaum muslimin. Seandainya yang kita jadikan ukuran itu pakaian dan tampilan luar, kita tidak akan menemukan petunjuk yang akan menyatakan siapa sebenarnya Said. Kebesaran tokoh ini lebih banyak yang tersembunyi dan berada di dalam daripada yang tersembul di permukaan luar yang kemilau. Kebesaran itu jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya. Apakah anda sekalian tahu tentang mutiara yang terpelihara di dalam perut kerang? Nah, keadannya boleh diibaratkan seperti itu. Ketika Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab memberhentikan Mu'awiyyah dari jabatannya sebagai Kepala Daerah di Syiria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Cara yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya merupakan suatu cara yang mengandung kehati-hatian, ketelitian, dan pemikiran yang matang. Sebab, ia yakin bahwa kesalahan apapun yang dilakukan oleh setiap Penguasa di tempat yang jauh sekalipun maka yang ditanya oleh Alloh ialah 2 orang: pertama, Umar, dan yang kedua, penguasa baru yang melakukan kesalahan itu. Oleh sebab itu, syarat-syarat yang dipergunakan untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintah sangat berat dan ketat, serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna setajam penglihatan dan setembus pandangannya. Syiria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam, mengikuti peradaban yang silih berganti, di samping merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang. Beberapa poin inilah yang menjadikan Syiria sebagai negeri yang penuh godaan dan rangsangan. Menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan oleh setan manapun, seorang ahli zuhud yang gemar beribadah, yang tunduk dan patuh kepada Alloh. Tiba-tiba Umar berseru, “Aku telah menemukannya. Bawalah ke sini Said bin Amir!”. Tak lama kemudian, Said pun datang menjumpai Amirul Mukminin yang menawarkan jabatan sebagai Walikota Homs, Suriah. Tetapi Said menyatakan keberatan dan berkata, “Janganlah engkau menjerumuskan diriku ke dalam fitnah, wahai Amirul Mukminin!”. Dengan nada keras Umar menjawab, “Tidak, demi Alloh, aku tidak akan membiarkanmu menolak. Apakah kalian hendak membebankan amanah dan Khilafah di atas pundakku lalu kalian meninggalkan diriku begitu saja?”. Dalam sekejap Said dapat diyakinkan. Memang, kata-kata yang diucapkan Umar pantas untuk mendapatkan hasil yang diharapkan itu. Sungguh, suatu hal yang tidak adil bila mereka mengalungkan amanah dan jabatan Khalifah ke lehernya, lalu mereka meninggalkan dirinya memikul tugas itu sendirian. Seandainya seorang seperti Said bin Amir menolak untuk memikul tanggung jawab hokum, siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang sangat berat itu? Akhirnya Said berangkat ke Homs disertai oleh istrinya yang waktu itu masih pengantin baru. Istrinya sejak belia memang terlihat sebagai seorang wanita yang sangat cantik berseri-seri. Umar membekali mereka dengan bekal yang cukup. Ketika kedudukan di Homs telah mapan, sang istri bermaksud menggunakan haknya sebagai istri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. Ia mengusulkan kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya. Namun, Said menjawab, “Maukah kamu aku tunjukkan yang lebih baik daripada rencanamu itu? Kita berada di suatu negeri yang sangat pesat perdagangannya dan laris barang jualannya. Lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan mengembangkannya.” “Bagaimana jika perdagangannya rugi?” Tanya istrinya. “Aku akan menetapkan jaminan atas dirinya” “Baiklah kalau begitu” Kemudian Said pergi keluar, lalu membeli beberapa keperluan hidup dari jenis yang sangat bersahaja dan sisanya tentu masih banyak, dibagi-bagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Hari-hari pun berlalu, dari waktu ke waktu istri Said selalu menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan kapan keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Said bahwa perdagangan mereka berjalan lancer, sedangkan keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat. Suatu hari, istrinya kembali mengajukan pertanyaan serupa di hadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Said pun tersenyum lalu tertawa yang menyebabkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang istri. Ia mendesak suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Akhirnya, sang suami menuturkan kepadanya bahwa harta itu telah disedekahkannya sejak awal. Wanita tupun menangis, ia menyesal karena harta itu lenyap tanpa arti dan tidak jadi dibelikan keperluan hidup dirinya dan sekarang tidak sedikitpun yang tersisa. Said memandangi istrinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya. Sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya yang lemah. Said mengalihkan penglihatan batinnya ke surga, maka tampaklah di sana rekan-rekannya yang telah pergi mendahuluinya, lalu berkata, “Aku mempunyai rekan-rekan yang telah lebih dulu menemui Alloh dan saya tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala isinya.” Karena ia takut akan tergoda oleh kecantikan istrinya itu, ia pun menyampaikan kata-kata yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama istrinya. “Bukankah kamu tahu bahwa di dalam surga itu banyak terdapat gadis-gadis cantik yang bermata jeli, hingga andai seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka bumi, maka akan terang benderanglah seluruhnya, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan?... Maka mengorbankan dirimu demi untuk mendapatkan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengorbankan mereka demi karena dirimu.” Ia mengakhiri ucapan itu dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah sebagaimana ia berbicara sejak awal. Istrinya diam dan sadar bahwa tidak ada yang lebih utama baginya daripada meniti jalan kebahagiaan untuk akhirat. Akhirnya ia berupaya mencontoh sifat zuhud dan ketakwaan suaminya. Pada saat itu Homs digambarkan sebagai Kuffah kedua. Hal itu disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan kedurhakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang kekuasaan. Dan karena kota Kuffah dianggap sebagai pelopor Islam soal pembangkangan ini, Homs diberi julukan sebagai Kuffah kedua. Tetapi, bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang pemimpin-pemimpin mereka sebagaimana yang kita sebutkan itu, namun terhadap hamba yang shalih ini yakni Said, hati mereka dibukakan Alloh, hingga mereka cinta dan taat kepadanya. Suatu hari Umar menyampaikan berita kepada Said, “Orang-orang Syiria mencintaimu.” Said mengomentari, “Itu mungkin karena aku suka menolong dan membantu mereka.” Namun, sebesar apapun cinta warga kota Homs terhadap Said, keluhan dan pengaduan tetap saja tidak dapat dielakkan, sekurang-kurangnya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi kota Kuffah di Irak. Suatu ketika Amirul Mukminin Umar berkunjung ke Homs dan bertanya kepada penduduk yang sedang berkumpul tentang Said, “Bagaimana pendapat kalian tentang Said?”. Sebagian hadirin tampil ke depan mengadukannya. Tetapi rupanya pengaduan itu mengandung berkah, sehingga dengan demikian terungkaplah dari satu segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang sangat menakjubkan. Dari kelompok yang mengadukan itu, Umar meminta agar mereka mengemukakan titik-titik kelemahannya satu demi satu. Juru bicara kelompok tersebut maju dan mengatakan, “Kami mengeluhkan 4 perkara dari dirinya: 1. Ia tidak keluar untuk menemui kami hingga menjelang siang. 2. Ia tidak mau melayani orang pada waktu malam hari. 3. Setiap bulan ada 2 hari dimana ia tidak mau keluar untuk kami, sehingga kami tidak dapat menemuinya. 4. Ada satu hal lagi yang sebetulnya bukan merupakan kesalahannya, tapi mengganggu kami, yaitu bahwa sewaktu-waktu ia jatuh pingsan.” Umar tertegun sebentar dan memohon kepada Alloh, dengan ungkapan, “Ya Alloh, hamba tahu bahwa ia adalah hamba-Mu yang terbaik. Karena itu hamba berharap firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset.” Said pun dipersilahkan untuk membela dirinya. Ia pun berkata, “Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tidak keluar hingga menjelang siang, demi Alloh, sebetulnya saya tidak hendak menyebutkannya. Keluarga kami tidak punya pelayan, sehingga sayalah yang membuat adonan tepung dan membiarkannya sampai mengembang, lalu saya membuat roti dan kemudian wudhu untuk shalat Dhuha. Setelah itu, saya keluar menemui mereka.” Wajah Umar berseri-seri, dan berkata, “Alhamdulillah, dan mengenai yang kedua?” Said pun melanjutkan pembicaraannya, “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tidak mau melayani mereka pada waktu malam, demi Alloh, saya sebenarnya tidak suka menyebutkan sebabnya. Saya telah menyediakan siang hari bagi mereka, sedangkan malam hari bagi Alloh Ta’ala. Keluhan mereka bahwa 2 hari setiap bulan saya tidak menemui, itu karena saya tidak punya pelayan yang akan mencuci pakaian, sedangkan saya tidak punya baju yang lain. Jadi, saya memanfaatkan hari itu untuk mencucinya dan menunggu sampai kering dan di akhir siang saya bisa menemui mereka.” “Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, itu karena ketika di Mekkah dulu saya telah menyaksikan Khubaib Al-Anshari jatuh tersungkur. Tubuhnya disayat-sayat oleh orang-orang Quraisy, dan mereka menyeret tubuhnya sambil menanyakan kepadanya, ‘Maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedangkan kamu berada dalam keadaan sehat wal ‘afiat?’, Khubaib menjawab, ‘Demi Alloh, aku tidak ingin tinggal dalam keselamatan dan kesenangan dunia bersama anak dan istriku, sementara Rosulullah Sholallohu ‘Alaihi Wassalam ditimpa bencana, walau hanya oleh tusukan duri sekalipun’. Setiap terkenang peristiwa yang aku saksikan itu, dan ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa aku berpangku tangan dan tidak mengulurkan tangan untuk menolong Khubaib, tubuhku gemetar karena takut siksa Alloh, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu”. Sampai disitu berakhirlah kata-kata Said, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang Shalih. Mendengar itu, Umar tidak mampu menahan rasa harunya, sehingga ia pun berseru karena sangat gembira, “Alhamdulillah, dengan taufik-Nya firasatku tidak meleset”. Ia lalu merangkul dan memeluk Said, serta mencium keningnya yang mulia dan bersinar cahaya. Petunjuk macam apakah yang telah diperoleh makhluk seperti ini? Guru seperti apakah sebenarnya Rosulullah Sholallohu ‘Alaihi Wassalam itu? Seperti apa sejatinya cahaya kitabulloh? Corak sekolah yang telah memberikan bimbingan dan meniupkan inspirasi manakah agama Islam ini? Dan, mungkinkah bumi dapat memikul di atas punggungnya jumlah yang cukup banyak dari tokoh-tokoh berkualitas demikian. Sekiranya mungkin, tentulah ia tidak disebut bumi atau dunia lagi, lebih tepat bila dikatakan surga firdaus. Sungguh ia telah menjadi firdaus yang telah dijanjikan Alloh! Dan karena firdaus itu belum tiba waktunya, maka orang-orang yang lewat di muka bumi dan tampil di arena kehidupan dari tingkat tinggi dan mulia seperti ini sangat sedikit dan jarang adanya. Said bin Amir salah seorang di antara mereka. Uang tunjangan dan gaji yang diperolehnya sangat besar, sesuai dengan kerja dan jabatannya, tetapi ia hanya mengambil untuk keperluan diri dan istri, sedangkan selebihnya dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya. Suatu saat seseorang menasehatinya, “Manfaatkanlah kelebihan harta ini untuk melapangkan keluargamu sendiri dan family mertuamu!”. Ia pun menjawab, “Mengapa keluargaku dan family mertuaku saja yang harus lebih kuperhatikan? Demi Alloh, tidak! Aku tidak akan menjual keridhoan Alloh dengan kaum kerabatku”. Ia memang sudah sekian kali disarankan oleh orang lain, “Longgarkanlah nafkah untuk diri pribadi dan keluargamu, ambillah kesempatan untuk menikmati hidup!” Tetapi jawaban yang keluar hanyalah kata-kata yang senantiasa diulang-ulangnya, “Aku tidak ingin ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah saya mendengar Rosulullah Sholallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Alloh Azza wajalla akan menghimpun manusia untuk dihadapkan ke pengadilan. Kemudian datanglah orang-orang miskin yang beriman, berdesak-desakan maju ke depan tidak ubahnya bagai kawanan burung merpati, lalu ada yang berseru pada mereka, ‘Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan!’ mereka menjawa, ‘Kami tidak punya apa-apa untuk diperiksa’. Alloh pun berfirman, ‘Hamba-hambaku itu benar’, lalu mereka masuk ke dalam surga sebelum orang-orang lain masuk”. Pada tahun 20 H Said bin Amir pulang ke rahmat Alloh, dengan lembaran yang paling bersih, hati yang paling suci, dan kehidupan yang paling cemerlang. Telah lama sekali rindunya terpendam untuk menyusul rombongan perintis. Hidupnya memang telah didedikasikan untuk memelihara janji dan mengikuti langkah mereka. Sungguh, rindunya tiada terkira untuk dapat menjumpai Rosulullah Sholallohu ‘Alaihi Wassalam yang menjadi gurunya, serta teman-temannya yang shalih dan suci. Sekarang ia akan menemui mereka dengan hati yang tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan. Ia tidak membawa atau meninggalkan beban dunia atau harta benda yang akan memberati punggung atau menekan bahunya. Tidak ada yang dibawanya kecuali kezuhudan, keshalehan, dan ketakwaan serta kebenaran jiwa dan budi baiknya. Semua itu adalah keutamaan yang akan memberatkan timbangan dan sekali-kali tidak akan memberatkan punggung. Keistimewaan tersebut dipergunakan oleh pemiliknya untuk menempatkan dunia di posisi yang rendah, sehingga tidak tergoyahkan oleh tipu daya dunia. Selamat bagi Said bin Amir Selamat baginya, baik selagi hidup maupun setelah wafatnya Selamat, sekali lagi selamat, atas riwayat dan segala kenangannya Selamat bagi para sahabat Rosulullah Sholallohu ‘Alaihi Wassalam, yang mulia, gemar beramal, dan rajin beribadah.

Haid Wanita Hamil

Oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, "Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid". Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil. Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) :"Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini". Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah : [1]. Talak. Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta'ala. "Artinya : ....Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ...." [Ath-Thalaaq : 1]. Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil. [2]. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta'ala. "Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya" [Ath-Thalaaq : 4] [Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]

Kamis, 18 Oktober 2012

KETETAPAN MADZHAB SYAFI’I MERUPAKAN JAWABAN HUKUM MEMBACA QUR’AN DI KUBURAN

Saudaraku seiman .... Mayoritas kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi makam-makam keluarga, sanak famili, orang tua serta orang-orang shalih dari kalangan para wali dan para sahabat hanya sekedar untuk mendoakan atau berdzikir dan membaca qur’an di sekitarnya. Mereka berdalih bahwa yang demikian ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Saudaraku seiman .... Benarkah yang demikian ini merupakan pendapat atau bahkan sebuah atsar yang disampaikan yang bersumber dari Imam Syafi’i rohimahulloh? Bahkan kita mendapati sebagian dai, kiai, buya, mubaligh mensyariatkan yang demikian ini dengan menyampaikan atsar-atsar dan dalil-dalil yang apabila dalil-dalil tersebut didengarkan oleh masyarakat awam, niscaya mereka akan mempercayainya tanpa selektif. Saudaraku seiman .... Simaklah bagaimana para Ulama mengomentari atsar-atsar tersebut! dan bagimana ketatapan Madzhab Syafi’i dalam menyoal bacaan qur’an seseorang di sekitar kuburan. Saya ringkas dalam beberapa pembahasan berikut: 1. Membaca Qur’an Di Kuburan Tatkala Prosesi Pemakaman Kaum muslimin berbondong-bondong menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir, kemudian sebagian mereka membaca qur’an di saat prosesi pemakaman berlangsung. Apa yang mereka lakukan berpijak pada salah satu atsar yang semua atsar tentang hal ini dinilai dhaif (lemah) oleh para Ahli Hadits atau bahkan maudhu (palsu), adapun salah satu atsar tersebut adalah sebagai berikut ini: قال الخلال أخبرنا العباس بن محمد الدوري حدثنا ميشر الحلبي حدثني عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه قال قال أبي إذا أنا مت فضعني في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن علي التراب واقرأ عند رأسي بفاتحة البقرة وختمتها فإني سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك . Artinya: Berkata Al-Khalal telah mengkhabarkan kepada kami Al-Abbas bin Muhammad Ad-Daury telah berbicara kepada kami Mubasyir Al-Halaby telah berbicara kepadaku Abdur Rahman bin Al-Ala’ Al-Jalaj dari ayahnya ia berkata: Apabila aku telah meninggal maka telah diletakkan di liang lahat dan katakanlah: bismillah wa ala sunnati rosulillah dan guyurkanlah di atas jasadku tanah dan bacalah di sisi bagian kepalaku dengan awal surat Al-Baqoroh serta akhir ayat daripadanya! Maka sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar memerintahkan yang demikian ini. (Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam Kitab At-Tsiqot) Saudaraku seiman …. Sanad atsar ini lemah, dan letak lemahnya atsar ini adalah pada Abdur Rahman bin Al-Ala’ Al-Jalaj. Beliau adalah seorang yang majhul (tidak dikenal). Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany: maqbul (diterima) tatkala disertai mutaba’ah. Meski atsar di atas disebutkan oleh Imam Ibnu Hibban di dalam Kitab At-Tsiqot (kitab kumpulan orang-orang yang kuat dalam periwayatan hadist) maka perlu diketahui bahwa menurut para Ulama Ahli Hadist bahwa Imam Ibnu Hibban adalah seorang mutasahil (seorang yang mudah menguatkan hadist meski sang perawi itu majhul/ tidak dikenal). Ibnu Hajar Al-Asqolany berkata, "Dan ini merupakan madzhab Ibnu Hibban bahwa setiap rijal hadits (perawi) apabila ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal) di hadapannya, lantas ia menilai perawi tersebut sebagai seorang yang adil hingga jelas atas dirinya jarahnya (pencacatannya), maka sungguh ini madzhab yang aneh sedangkan jumhur ulama berbeda dengan pendapatnya ini, dan metode ini yang digunakan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya Kitab At-Tsiqot yang telah ia tulis (Tamamul Minnah dan Lisan Al-Mizan)". Penilaian Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany terhadap atsar ini melengkapi bahwa membaca qur’an baik dari surat Al-Baqoroh ataupun surat Yasin dan surat-surat yang lainnya dari al-qur’an adalah perkara yang baru yang tidak ada contoh dari nabi Muhammad shollahu alaihi wa salam. 2. Mentalqin Mayit Setelah Dikubur Hadist Abu Umamah ia berkata, "bersabda Rasululloh Shalallohu alaihi wa salam: Apabila wafat salah seorang di antara kalian, dan kalian telah meratakannya dengan tanah, maka hendaklah berdiri salah seorang di antara kalian di atas bagian kepala kuburannya kemudian hendaklah berkata: wahai fulan bin fulan maka sesungguhnya ia (sang mayit) mendengar dan tidak bisa menjawab, kemudian katakanlah: fulan bin fulan kedua kalinya, maka sesungguhnya ia menyamai orang duduk, kemudian katakanlah fulan bin fulan, maka sesungguhnya ia menjawab: Tunjukkanlah (ajarilah) kepada kami semoga engkau dirahmati Alloh, akan tetapi kalian tidak mendengar apa yang dikatakannya. Maka hendaklah berkata: Ingatlah apa yang telah engkau lalui atasnya dari perkara dunia tentang syahadat La ilaha illalloh wa anna muhammadan rosululloh dan engkau ridho bahwa Alloh sebagai Tuhan, dan Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi, dan Al-qur’an sebagai imam…". (Disebutkan oleh Imam Thabrany dalam kitab Mu’jamnya). Saudaraku seiman …. Hadist Abu Umamah di atas merupakan hadits lemah, Imam Nawawi melemahkan hadits ini di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzab, demikian pula Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany melemahkan hadits ini. Para Ulama menyatakan yang demikian ini tidak dikerjakan oleh pendahulu umat ini. Adapun sebagian saudara-saudara seiman yang beranggapan bolehnya mengamalkan hadits-hadits lemah untuk fadho’il amal, maka tidaklah yang demikian ini dilakukan kecuali harus terpenuhinya tiga syarat, adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : a. Hadits yang diamalkan bukanlah hadits palsu (orang yang mengamalkannya mengetahui secara pasti bahwa hadist itu bukan hadits palsu) b. Orang yang mengamalkannya adalah orang yang mengetahui secara pasti bahwa hadits yang ia amalkan merupakan hadits lemah (dhoif) c. Amal yang ia lakukan dari hadits dhoif tersebut diharamkan untuk disebarluaskan atau mengajak orang untuk bersama-sama mengamalkannya. Demikianlah yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany, Imam Nawawy berkata: Tidak halal bagi orang yang tidak mengetahui lemah dan tidaknya sebuah hadits untuk berhujjah dengan hadits tersebut, hingga ia melakukan pembahasan dan pemeriksaan terhadap hadits tersebut bila ia seorang yang berilmu, atau dengan bertanya kepada ahli ilmu yang mampu terhadap ilmu tersebut (Mushtholahat Al-Fuqoha’ Wal Ushuliyyin). Sesungguhnya orang yang mengaku dirinya sebagai AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH adalah orang yang sangat mengerti tentang derajat sebuah hadits, baik hadits itu lemah ataupun shahih dan bahkan palsu dan hasan. Syeikh Abdul Qodir Jaelany berkata dalam kitabnya Al-Ghunyah: أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة والجماعة وأهل السنة لا اسم لهم إلا اسم واحد وهو أصحاب الحجيث Artinya : Adapun golongan yang selamat, mereka itu adalah ahlus sunnah wal jama’ah dan ahlus sunnah wal jama’ah tidak ada nama bagi mereka kecuali satu nama, mereka adalah ASHABUL HADITS (orang yang mengerti tentang penilaian-penilaian derajat hadits) Kemudian bagaimana dengan para Buya, Kiai, Ajengan dan Ustadz serta para Mubaligh yang menyampaikan sebuah hadits atau atsar sementara mereka tidak mengerti derajat sebuah hadits. Apakah bisa dikatakan mereka sebagai ahlus sunnah wal jama’ah? Saudara ku seiman …. Mentalqin mayit setelah dikubur merupakan perbuatan yang diada-adakan oleh manusia pada hari ini, yang tentunya tidak ada sandaran yang shorih (kuat) dan shohih (benar) dari sisi Rosululloh meski mereka menyandarkannya kepada nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam namun itu semua sebuah pengakuan yang keliru tak berdasar dan bersandar kepada nabi. 3. Membaca Qur’an Di Kuburan Tatkala Berziarah Kubur وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقـال لا بأس بها Artinya : Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za’farony bertanya kepada Imam Syafi’i tentang membaca qur’an di kuburan, maka beliau menjawab : Tidak mengapa yang demikian ini dilakukan (Kitab Ar-Ruh). Saudaraku seiman …. Tidak diragukan lagi bahwa Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za’farony merupakan seorang imam ahli hadits yang padanya Imam Bukhory meriwayatkan sebuah periwayatan hadist, demikian pula Imam At-Tirmidzy. Namun perlu diketahui bahwa Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za’farony bertemu dan berjumpa dengan Imam Syafi’i tatkala Imam Syafi’i masih berdomisili di Baghdad, adapun pendapat dan perkataan Imam Syafi’i di Baghdad merupakan qoulun qodim (pendapat lama) yang tidak halal bagi siapa pun untuk mengambil hujjah dari Imam Syafi’i atas pendapat lamanya. Demikian yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ar-Romli. Imam Syafi'i berkata : لا أجعل في حل من رواه عني Artinya : Saya tidak menjadikan sebuah kehalalan bagi siapa yang meriwayatkan dariku (pendapat lama beliau) لا يحل عد القديم من المذهب Artinya : Tidak halal kembali kepada pendapat lama dari sebuah pendapat (madzhab) Berkata Imam Al-Haromainy Al-Juwainy: معتقدي أن الأقوال القديمة ليست من مذهب الشافعي حيث كانت Artinya : Keyakinanku bahwa perkataan-perkataan (Imam Syafi’i) yang lama (qoulun qodim) bukanlah termasuk dari madzhab Syafi’i di manapun pendapat itu berada. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa membaca qur’an di kuburan merupakan pendapat Imam Syafi’i yang lama (qoulun qodim) yang tidak dihalalkan bagi siapa pun menjadikannya hujjah dan alasan membolehkannya membaca qur’an di kuburan dengan dalih apa pun. Tentu hal ini apabila dilakukan oleh saudara-saudara seiman yang mengaku bermadzhab Syafi’i maka itu merupakan kejahilan terhadap wawasan bermadzhab yang ia bangun. 4. Kesimpulan Saudaraku seiman …. Melalui pemaparan ringkas di atas yang insya alloh bermanfaat, dapat dipahami bahwa merupakan perkara yang baru yang diada-adakan dan tidak ada contoh dari nabi Muhammad shalallohu alaihi wa salam seseorang membaca qur’an dengan surat apa pun di sekitar kuburan. Demikian pula mentalqin mayit tatkala jasad sudah berkalang tanah. Semuanya adalah perkara baru dalam agama ini. Wallohu a’lam bi showab (Indra Sudrajat, SEI)